Pandangan Dunia

Risalah Pandangan Dunia (10)

Burhan (Argumentasi) Shiddiqin

Ada beragam pendekatan dalam menjelaskan Burhan shiddiqin. Sebagian penjelasan tersebut dijelaskan melalui pendekatan ishalatul mahiyah dan sebagiannya lagi dijelaskan melalui pendekatan ishalatul wujud. Sekarang kami akan menjelaskan burhan shiddiqin yang dijelaskan oleh Ibn Sina dalam bukunya Isyarat wa tanbihat, an-namth. Beliau menamakan burhannya dengan burhan shiddiqin. Penjelasan beliau sebagai berikut ;

Kita tak pernah meragukan mengenai sesuatu  yang telah merealitas di alam realitas eksternal. Maksudnya bahwa hal ini berbeda dengan apa yang dipahami oleh kaum Shopis yang menafikan segala realitas yang ada. Mereka meyakini bahwa alam ini hanya imajinasi dan fatamorgana semata. Akan tetapi kita meyakini bahwa realitas eksistensi tidak mungkin dinafikan. Bahkan pada hakikatnya mereka pun yang mengingkari realitas tersebut mengakuinya secara tidak sadar.

Dengan memperhatikan hal di atas pada akhirnya kita meyakini akan adanya berbagai realitas eksistensi di alam eksternal. Akal kita mampu membagi realitas tersebut kepada dua pembagian besar. Kedua pembagian tersebut yaitu ; apakah realitas tersebut secara esensi (zati) tidak membutuhkan pada apapun (ghani), ataukah realitas tersebut secara esensi faqir dan membutuhkan pada yang lain. Pembagian ini disebut dengan pembagian aqli, maksudnya bahwa tidak ada lagi kemungkinan adanya bagian ketiga dari pembagian di atas.

Sekarang, kita akan menganalisa asumsi di atas. Jika kita mengatakan bahwa terdapat sebuah realitas yang secara esensi dalam keberadaan dirinya tidak membutuhkan apa pun secara mutlak – realitas ini secara istilah disebut dengan wajibul wujud – maka  dalam hal ini kita telah membuktikan yang kita inginkan (membuktikan keberadaan Tuhan). Maksudnya bahwa kita telah membuktikan keniscayaan realitas eksternal yang secara esensi tidak membutuhkan pada apa pun kepada yang lain. Namun  jika kita mengatakan bahwa terdapat sebuah realitas yang secara esensi butuh kepada yang lainnya, maka berdasarkan prinsip kausalitas – setiap akibat butuh kepada sebab dimana tidak mungkin terjadi adanya akibat tanpa adanya sebab – meniscayakan adanya sebuah sebab untuk keberadaan alam ini. Sekarang jika kita asumsikan sebab tersebut adalah sebab yang tidak membutuhkan lagi kepada yang lainnya maka kita telah membuktikan adanya wajibul wujud, namun jika kita mengatakan bahwa sebab tersebut juga membutuhkan kepada sebab lainnya maka pada akhirnya rangkaian ini akan berakhir pada sebuah wujud wajib yang independen dimana wujudnya tidak membutuhkan lagi pada yang lainnya. Selanjutnya tidak dapat pula dikatakan bahwa rangkaian tersebut tidak akan pernah berakhir atau dalam kata lain rangkaian tersebut akan senantiasa berlanjut hingga tak terhingga, karena sebagaimana yang telah kami ungkapkan sebelumnya bahwa tasalsul dalam rangkaian eksistensi adalah mustahil.

Mungkin saja dalam hal ini diasumsikan dalam bentuk lain bahwa mata rantai kausalitas ini tidak berlangsung dalam bentuk tasalsul, namun alam realitas adalah akibat bagi dirinya sendiri. Maksudnya dirinya adalah sebab sekaligus akibat itu sendiri, atau dalam kata lain alam realitas adalah memiliki sebab selain dirinya, namun sebab tersebut tidak butuh kepada wujud ketiga akan tetapi sebab adalah alam itu sendiri sebagaimana alam adalah akibat darinya.

Untuk  menjawab kedua permasalahan di atas harus diakui bahwa kedua hal tersebut di atas meniscayakan daur dan kami telah menjelaskan sebelumnya kemustahilan terjadinya daur tersebut. Oleh karena itu Burhan Shiddiqin bisa dirangkum sebagai berikut :

  1. Realitas dan eksistensi tidak mungkin diingkari. Dan untuk menerima anggapan tersebut tidak membutuhkan dalil.
  2. Keberadaan-keberadaan alam realitas tersebut, apakah dalam wujud dirinya secara zati adalah kaya (tidak membutuhkan pada yang lain) atau secara zati adalah faqir (butuh pada yang lain).
  3. Jika kita mengatakan keberadaan-keberadaan eksistensi kaya secara zati dalam dirinya, maka kita telah membuktikan wujud wajib tersebut (dalam pembahasannya tersendiri kami akan membuktikan bahwa wajibul wujud tidak mungkin berbilang, wujud wajib hanya ada satu saja).
  4. Jika dikatakan keberadaan-keberadaan eksistensi adalah faqir secara zati, kemudian disisi lain dirinya tidak mungkin mengadakan dirinya sendiri (kemustahilan daur), juga tasalsul dalam mata-rantai kausalitas adalah mustahil, oleh karena itu hal ini meniscayakan bagi keberadaan-keberadaan faqir tersebut butuh kepada sumber keberadaan dimana dirinya secara zati tidak butuh pada apapun dan seluruh keberadaan-keberadaan faqir berasal dari diri-Nya.

Setelah menjelaskan Burhan Shiddiqin, kami akan beralih kepada argumen-argumen yang berlandaskan kepada keberadaan-keberadaan tabiat atau melalui jejak-jejak alam mumkin, maksudnya dalam hal ini kami akan membuktikan Tuhan melalui keberadaan mereka.

Argumentasi Keteraturan 

Dalam menjelaskan teori keteraturan ini, pertama-tama kami akan menjeleskan definisi dari keteraturan bahwa yang dimaksud dengan keteraturan adalah sebuah sistem harmonis dan memiliki kesesuaian antara bagian-bagian sebuah rangkaian yang tersusun dengan bagian lainnya agar dapat mencapai satu tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Berdasarkan hal ini rangkaian keteraturan adalah rangkaian dimana bagian-bagian yang membentuk rangkaian tersebut memiliki harmonisasi serta kesesuaian yang dapat memenuhi tujuan tertentu dari hubungan rangkaian tersebut.

Setelah mendefinisikan keteraturan, harus dipahami bahwa argumentasi keteraturan dalam membuktian keberadaan Tuhan dibangun diatas tiga prinsip utama :

  1. Keteraturan adalah nyata di alam eksternal.
  2. Menerima sebab efisien bagi fenomena-fenomena eksistensi.
  3. Menerima sebab final bagi fenomena-fenomena alam.

Sekarang, kami akan menjelaskan masing-masing dari ketiga prinsip diatas :

Prinsip Pertama : Keteraturan Alam

Tidak diragukan lagi bahwa manusia dengan mudah memahami keteraturan alam dan fenomena-fenomena alam eksistensi. Para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, senantiasa menyaksikan sebagian dari keteraturan tersebut. Setiap hari mereka menemukan hal baru dari keteraturan dan ketelitian yang berasal dari fenomena-fenomena alam. Bahkan saat ini, para ilmuan tidak hanya meyakini bahwa terdapat hubungan yang sangat detail di antara problema-problema yang ada dalam sebuah disiplin ilmu pengetahuan, lebih dari itu mereka meyakini terdapat hubungan yang detail di antara problema-problema berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hal tersebut menunjukkan keharmonisan berbagai fenomena-fenomena alam eksistensi, termasuk hubungan yang sangat detail di antaranya. Berdasarkan hal tersebut, saat ini terdapat satu disiplin ilmu pengetahuan baru yang disebut dengan Filsafat Ilmu. Filsafat ilmu ini membicarakan hubungan dan keterkaitan antara satu ilmu pengetahuan dengan dengan disiplin pengetahuan lainnya. Namun disini harus dipahami bahwa keteraturan dalam sebuah rangkaian keteraturan, bukan fenomena yang independen dan bukan suatu hal yag terpisah dari bagian-bagiannya sehingga meniscayakan membutuhkan Pencipta tertentu dan terpisah. Namun keteraturan pada hakikatnya sebuah konsep abstraksi yang didapatkan dari hubungan kualitas penciptaan dan letak bagian-bagian rangkaian tersebut.

Prinsip Kedua : Sebab Efisien

Dalam pembahasan mengenai pembagian-pembagian sebab, kami telah menjelaskan definisi sebab efisien. Namun kaitannya dengan pembahasan kita kali ini adalah berkenaan dalam membuktikan keteraturan, bahwa keteraturan butuh akan Pengatur dan hal ini meniscayakan kita untuk menerima sebab efisian. Maksudnya meyakini bahwa keberadaan-keberadaan alam memiliki Pencipta di mana pembahasan ini telah kami jelaskan sebelumnya. Jika ada yang menolak prinsip tersebut – setiap akibat butuh sebab efisien dan setiap fenomena butuh pada yang mengadakannya – maka orang tersebut tidak dapat membuktikan keberadaan Sang Pengatur melalui keteraturan fenomena-fenomena yang ada.

Prinsip Ketiga : Sebab Final

Dalam argumentasi keteratuan ini, hal yang sangat penting diperhatikan adalah berkenaan dengan sebab final. Maksudnya bahwa keteraturan yang menjadi dasar bagi fenomena-fenomena eksistensi alam ini dengan jelas menunjukkan bahwa Pencipta fenomena-fenomena tersebut memiliki maksud dan tujuan tertentu dalam menciptakan fenomena-fenomena tersebut. Berdasarkan dengan tujuan akhir tersebut maka ciptaan-ciptaan (makhluk) tersebut diciptakan dengan keteraturan.

Harmonisasi antara bagian-bagian alam dan kesesuaiannya dengan sebab finalnya menunjukkan bahwa pencipta alam dan yang mengadakan bagian-bagian alam tersebut memiliki kesadaran dan pengetahuan. Tidak mungkin Pencipta alam ini tidak memiliki pengetahuan, karena terangkainya keteraturan seperti yang diasumsikan, serta terciptanya harmonisasi tertentu di antara fenomena-fenomena keberadaan, membutuhkan pengetahuan yang dengannya dapat memenuhi tujuan yang diinginkan berdasarkan tiap-tiap bagiannya. Bagian-bagian tersebut diletakkan pada tempatnya dan diposisikan pada tempatnya yang hakiki sesuai dengan bagian tersebut dan kemudian ditetapkan pada seluruh sistem keberadaan.

Kita menolak – tanpa ada keraguan – jika sebab materi mampu menciptakan keteraturan seperti ini. Oleh karena itu maka Pencipta meniscayakan berasal dari keberadaan non-materi dan dengan pengetahuannya mampu menciptakan fenomena-fenomena keberadaan berdasarkan sistem keteraturan yang sangat rinci.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: