Pandangan Dunia

Risalah Pandangan Dunia (15)

Metode pengetahuan fitrawi terhadap Allah SWT terdapat dalam surat Al-A’raf: 172. Ayat ini biasanya disebut dengan ayat mitsaq atau dzar.

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني‏ آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى‏

أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى‏ شَهِدْنا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هذا غافِلينَ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) lengah terhadap (kesaksian Tauhid) ini.

Beragam penafsiran berkenaan dengan ayat tersebut, kira-kira ada 12 penafsiran yang menjelaskan ayat di atas. Ayat di atas bisa ditafsirkan secara sederhana sebagai berikut: Dalam ayat tersebut, secara jelas menyatakan bahwa terdapat sebuah alam dimana dalam alam tersebut terjadi dialog antara manusia (bani adam) dengan Tuhan. Dialog tersebut terjadi sedemikian rupa dan tidak ada kemungkinan terjadinya kesalahan, karena dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hudhuri dan dalam bentuk syuhud bathiniyyah; dan seandainya dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hushuli, maka paling minimal terdapat satu orang yang ragu dalam menjawab pertanyaan tersebut atau bahkan memberikan jawaban negatif (tidak) terhadap pertanyaan tersebut.

Selain dari analisa di atas, jika diasumsikan bahwa dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmuhushuli, tentunya hal ini tidak relevan sama sekali karena dalam ayat tersebut mengatakan:“pertanyaan ini diutarakan pada kalian sehingga kami mendapatkan jawaban pengakuan positif (iya) dari kalian sehingga hujjah menjadi sempurna pada kalian dan tidak ada lagi keambiguan dalam persoalan ini.” Jika dialog ini diutarakan dalam konteks ilmu hushuli, maka ada saja jalan untuk menghindari persoalan ini atau menggunakan justifikasi lainnya; karena sebagian orang dapat berargumentasi “kami menyangka bahwa jawaban kami pada saat itu benar, dan ternyata salah, karena itu kami mohon maaf.” Akan tetapi jika dialog tersebut terjadi dalam konteks ilmu hudhuri, maka tidak ada jalan dalam berargumentasi; karena dalam penyaksian (ilmu hudhuri), secara intuitif manusia menyaksikan rububiyyah Haq Ta’ala serta menyaksikan kehambaan dirinya. Maka dari itu, tidak akan ada pengingkaran sama sekali.

Bukti lainnya adalah perkataan Tuhan tentang أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ “bukankah Aku adalah Tuhanmu?” ayat tersebut tidak mengatakanالیس لکم ربٌ  “apakah anda tidak punya Tuhan?” tentu, jika pertanyaannya dijelaskan dalam bentuk kedua maka dialog tersebut tidak dalam penyaksianhudhuri, berbeda dengan bentuk pertama. Penakbiran pertama dengan jelas menunjukkan bahwa Tanya jawab ini dalam konteks ilmu hudhuri, maksudnya bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan partikular dan personal, bukan pengetahuan universal. Banyak hadis yang menjelaskan ayat di atas dan menegaskan persoalan penyaksian (musyahadah) dan ilmuhudhuri, salah satunya adalah hadis dari Imam Baqir : “Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya kepada mereka, dan jika pengetahuan hudhuri ini tidak ada maka mereka tidak akan pernah mengenal Rabb (Pencipta) mereka.

Dalam riwayat lainnya hadis dari Imam Shadiq : Ada salah seorang yang bertanya pada Imam ; Apakah dialog tersebut bersifat hudhuri? Imam menjawab: betul, karena jika tidak demikian maka tidak seorang pun yang akan mengetahui siapa penciptanya dan siapa pemberi rezeki baginya. Sebagaimana yang anda saksikan, dalam riwayat ini didasarkan pada Pencipta dan Pemberi Rezeki. Bahwasanya siapakah Dia dan bagaimana keberadaan diri-Nya, bukan hanya mengetahui secara universal akan keberadaan Pencipta dan keberadaan Pemberi Rezeki. Maksudnya, bahwa Imam tidak mengatakan “jika tidak demikian maka tidak seorangpun yang akan mengetahui bahwa bagi dirinya ada Pencipta dan ada Pemberi Rezeki.” Maksudnya, bahwa pengetahuan manusia pada saat itu dapat mengetahui siapa Penciptanya. Tahapan ini lebih tinggi dari pengetahuan terhadap keberadaan Pencipta dan Pemberi Rezeki. Karena dalam tahapan ini, Pencipta diketahui secara jelas (personal) dan hal ini merupakan argumentasi yang jelas akan kehudhurian pengetahuan ini. Sementara, ilmu hushuli hanya bisa membuktikan secara universal keberadaan Pencipta dan Pemberi Rezeki.

Pertanyaan: berdasarkan dengan apa yang telah diuraikan di atas bahwa manusia memiliki pengetahuan secara hudhuri kepada Tuhan, lalu untuk apa segala argumentasi rasional yang begitu rigit dibangun dalam membuktikan keberadaan Tuhan dan pengetahuan yang dihasilkan dari argumentasi itupun hanya pengetahuan universal?

Jawab: jawaban pertanyaan di atas bisa diuraikan berdasarkan dengan riwayat berikut ini yang membahas tentang jawaban Imam Shadiq  terhadap pertanyaan tentang alam mitsaq atau alamdzar: beliau berkata: “Pengetahuan hudhuri tetap saja ada dan menyatu dengan dirinya akan tetapi pengetahuan yang didapatkan pada alam tersebut, mereka melupakannya. Namun mereka akan mengingatnya kembali dengan segera. Jika pengetahuan ini bukan pengetahuan hudhuri, maka tidak seorangpun yang akan memahami siapa Penciptanya dan siapa Pemberi Rezekinya.”

Berdasarkan riwayat di atas, pengetahuan syuhud yang bersifat hudhuri tersebut tetap saja ada dan inheren dalam dirinya; akan tetapi dikarenakan manusia di alam dunia ini senantiasa berurusan dengan perkara-perkara duniawi dan tidak memperdulikan perkara-perkara yang bersifat spiritual atau maknawiyah, maka mereka melupakan pengetahuan hudhuri tersebut. Dalam kesempatan ini kami ingin mengingatkan kembali pengetahuan sebelumnya agar pembahasan ini lebih jelas.

Pada pembahasan sebelumnya telah kami menjelaskan bahwa ilmu hudhuri memiliki derajat atau beberapa tingkatan. Tingkatan tersebut dilihat dari sisi qualitasnya (kuat dan lemah). Contohnya ilmu hudhuri terhadap jiwa jika diperhatikan – tanpa diragukan – seluruh potensi jiwa dipersepsi dengan ilmu hudhuri. Namun terkadang kita lalai terhadap pengetahuan ini. Maksudnya terkadang kita salah dalam mempersepsi antara badan ini dengan jiwa. Bahkan terkadang kita bertanya ; “Jiwa itu apa?” Tingkatan ilmu hudhuri ini sangat lemah. Tingkatan lainnya dari ilmu tersebut adalah perasaan takut yang terkadang datang menghinggapi diri kita. Di saat ada faktor tertentu yang kemudian mengakibatkan perasaan takut tersebut datang. Di saat ‘sedang takut’ tersebut – secara jelas – diri kita memperhatikannya dan kita mengetahui bahwa diri kita sedang takut. Dan juga kita tidak lalai akan perasaan takut itu. Tingkatan ilmuhudhuri ini lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Karena itu tingkatan ilmu hudhuri ini memiliki tingkatan yang beragam dan tidak terbatas hanya pada dua tingkatan di atas. Sebagai tambahan dari penjelasan ini bahwa ilmu hudhuri ini bisa berubah dari tingkatan yang paling lemah menuju tingkatan yang paling kuat. Begitupun sebaliknya bisa berubah dari tingkatan yang paling kuat menuju tingkatan yang paling lemah. Benar, ilmu hudhuri kepada Tuhan pada tingkatan yang paling bawah akan tertutupi dengan perkara-perkara material dan perkara hewaniah. Akan tetapi di saat jiwa ini tidak memperhatikan perkara-perkara material tersebut dan jiwa ini hanya memperhatikan dirinya maka pada saat itu pengetahuan hudhuri tersebut akan nampak dan berkembang. Al-Quran Al-Karim dalam beberapa ayat menjelaskan hakikat ini seperti dalam surah Al-Ankabut : 65 ;

فَإِذا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tetapi tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).

Atau dalam surah Yunus : 22-23 ;

هُوَ الَّذي يُسَيِّرُكُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ حَتَّى إِذا كُنْتُمْ فِي الْفُلْكِ وَ جَرَيْنَ بِهِمْ بِريحٍ طَيِّبَةٍ وَ فَرِحُوا بِها جاءَتْها ريحٌ عاصِفٌ وَ جاءَهُمُ الْمَوْجُ مِنْ كُلِّ مَكانٍ وَ ظَنُّوا أَنَّهُمْ أُحيطَ بِهِمْ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصينَ لَهُ الدِّينَ لَئِنْ أَنْجَيْتَنا مِنْ هذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرينَ

Dia-lah Tuhan yang menjadikan Kamu dapat berjalan di daratan dan (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, tiba-tiba datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan tulus hati (sembari berkata), “Sesungguhnya jika engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.

فَلَمَّا أَنْجاهُمْ إِذا هُمْ يَبْغُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّما بَغْيُكُمْ عَلى‏ أَنْفُسِكُمْ مَتاعَ الْحَياةِ الدُّنْيا ثُمَّ إِلَيْنا مَرْجِعُكُمْ فَنُنَبِّئُكُمْ بِما كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (kamu hanya mendapat) kenikmatan hidup duniawi semata, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: