Ukuran Tauhid dalam Islam
Tujuan dari pembahasan ini untuk menjelaskan bahwa di antara pembagian tauhid yang ada, tauhid manakah yang mesti dimiliki oleh seseorang agar dimasukkan dalam kategori Islam. Dalam kata lain, kita ingin mengetahui tauhid manakah di antara pembagian tauhid yang ada, jika kita tidak meyakininya akan menyebabkan seseorang menjadi kafir atau musyrik. Jawaban pertanyaan ini akan kita temukan dengan mudah jika kita kembali menelusuri pada ayat-ayat Quran. Jika kita menelusuri ayat-ayat Quran yang berkenaan dengan persoalan tauhid – sebagian besar ayat-ayatnya telah kami sampaikan pada pembahasan sebelumnya – akan dipahami bahwa Quran lebih banyak menekankan persoalan tauhid dalam uluhiyah. Dalam surah Hud : 50, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia.” Dalam surah Al-Baqarah : 163, ”Dan Tuhan-mu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Begitu juga dalam surah Yusuf : 39, “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?”
Beberapa ayat lainnya juga bisa ditemukan dalam Quran yang memiliki makna yang sama dengan ayat-ayat Quran di atas. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan uluhiyah memiliki posisi yang sangat penting dan mendasar menurut Islam dan Quran. Selain dari pada ayat-ayat tersebut, secara mendasar kita mengetahui bahwa syiar Islam adalah la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah) yang bermakna menafikan segala bentuk tuhan (ilah) serta membatasi uluhiyah hanya pada zat Allah SWT semata. Berdasarkan hal ini, persoalan uluhiyah pada awal-awal dakwah Rasulullah SAW menjadi prioritas penting syiar dakwah untuk disampaikan kepada masyarakat. Rasulullah SAW bersabda, ‘qūlū lāilaha illallah tuflihū’ (katakanlah tiada tuhan selain Allah maka kalian akan meraih kemenangan). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam pandangan Quran dan Islam, keyakinan terhadap uluhiyah dianggap sebagai ukuran tauhid. Manusia bertauhid (muwahhid) adalah mereka yang telah menerima uluhiyah sebelum segala sesuatunya. Ia menafikan segala bentuk penyembahan dan segala keberadaan kecuali Allah SWT. Maksudnya satu-satunya yang diyakini dan diterima hanya la ilaha illallah. Selanjutnya, setelah menerima persoalan ini bahwa ukuran tauhid dalam Islam adalah tauhid dalam uluhiyah. Sekarang, berdasarkan atas hubungan kelaziman antara bagian tauhid ini dengan bagian-bagian tauhid lainnya yakni tauhid dalam penciptaan, rububiyah dan zat, maka dapat disimpulkan bahwa ketiga bagian tersebut termasuk batasan ukuran tauhid. Mengapa? Karena menerima tauhid dalam uluhiyah meniscayakan dan melazimkan menerima ketiga bagian lainnya dari tauhid tersebut. Oleh karena itu, seseorang yang tidak meyakini pada batasan tauhid ini maka dalam pandangan Islam dan Quran digolongkan sebagai orang musyrik dan kafir. Bahkan jika hanya menerima salah satu saja dari bagian tauhid tersebut masih digolongkan sebagai orang musyrik dan kafir, meskipun ia menerima bagian tauhid lainnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Quran berkenaan dengan kisah iblis dan kisah penolakan sujudnya kepada Nabi Adam as. Karena sebagaimana dikisahkan dalam Quran, iblis meyakini tauhid dalam penciptaan dan tauhid dalam rububiyah takwini, dan juga meyakini kiamat serta hari kebangkitan, namun iblis menolak rububiyah tasyri’i Ilahi karena iblis tidak taat atas perintah Tuhan sehingga iblis akan menerima balasan di neraka. Dalam surah Al-A’raf : 12, Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” Perkataan iblis ini menunjukkan bahwa iblis menerima Tuhan sebagai pencipta eksistensi. Kemudian dalam surah Al-Hijr : 39, Iblis berkata, “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menghiasi (seluruh kenikmatan duniawi) di muka bumi (sehingga indah menawan dalam pandangan) mereka, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” Dalam ayat ini iblis menggunakan kata Rabbi (Tuhanku) terhadap Tuhan yang menunjukkan bahwa iblis menerima rububiyah takwini. Kemudian ayat lainnya surah Al-Hijr : 36, Iblis berkata, “Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka berilah tangguh kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan.” Ayat ini menunjukkan keyakinan iblis terhadap hari kiamat.
Namun dengan segala keyakinan yang dimiliki oleh iblis, tetap saja digolongkan ke dalam golongan kafir karena iblis menolak perintah Tuhan untuk sujud kepada Adam as sebagaimana dalam surah Al-Baqarah : 34. “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam!” Maka bersujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur, dan (dengan demikian) ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” Kemudian dalam surah Shod; 78 dan 85, “Dan sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan” . . . “Bahwa sesungguhnya Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan kamu dan dengan orang-orang yang mengikutimu di antara mereka semuanya.” Dari sini kita dapat melihat bahwa di antara pembagian tauhid yang ada terdapat kelaziman. Dalam pandangan Islam tidaklah cukup hanya menerima satu bagian dari pembagian-pembagian tauhid. Bahkan jika manusia menerima satu bagian maka akan meniscayakan menerima bagian tauhid lainnya. Misalnya jika seseorang menerima tauhid dalam rububiyah takwini maka niscaya ia akan menerima tauhid dalam pemilikan secara hakiki dan juga menerima tauhid dalam mengatur secara independen. Mengapa? Karena semuanya merupakan kelaziman dan keniscayaan logis tauhid dalam rububiyah takwini.
Menerima rububiyah tasyri’i Tuhan akan melazimkan menerima tauhid dalam pengaturan (bahwa Allah SWT adalah pengatur secara independen). Maksudnya kita menerima keyakinan ini bahwa tak ada seorang pun yang berhak meletakkan dan membuat sebuah hukum tanpa adanya izin tasyri’i Ilahi, dan juga tidak dibenarkan untuk taat secara mutlak dan tanpa syarat kepada seseorang tanpa adanya izin dari Allah SWT. Namun pada pembahasan sebelumnya telah diisyaratkan pada beberapa pembahasan bahwa menerima tauhid rububiyah tidak bertentangan dengan keyakinan terhadap adanya perantara dalam penciptaan dan pengaturan alam selama hal tersebut diyakini karena adanya izin dari Ilahi. Begitu juga dengan ketaatan kepada orang-orang tertentu tidak bertentangan dengan rububiyah tasyri’i selama ketaatan terhadap mereka mendapatkan izin dari Allah SWT.
Syirik dan Beragam Faktornya
Dalam pandangan Islam, persoalan tauhid atau perkara yang berkaitan dengan ketuhanan dipandang sebagai suatu hal yang bersifat fitrawi. Keyakinan tersebut telah ada bersamaan dengan penciptaan manusia. Di sisi lain kita meyakini bahwa manusia pertama bukan hanya seorang insan bertauhid, bahkan juga sebagai seseorang yang mengajak manusia lainnya kepada ketauhidan karena ia adalah seorang Nabi. Oleh karenanya di sini jelas bahwa tauhid telah ada sejak manusia pertama kali ada di dunia ini dan tauhid tidak berasal dari kemusyrikan yang selanjutnya menyempurna menjadi agama tauhid sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang. Sekarang jika memperhatikan pembahasan sebelumnya, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah sebenarnya syirik itu? Dan atas faktor apa saja syirik itu muncul dalam kehidupan manusia? Untuk mengetahui faktor-faktor tersebut, kita akan kembali kepada Quran sehingga kita dapat mengetahui faktor-faktor apa saja menurut Quran yang dapat mengakibatkan munculnya fenomena syirik dalam masyarakat. Setelah menganalisa beberapa ayat Quran berkenaan dengan hal ini, sekitar 10 faktor yang dapat mempengaruhi persoalan ini. Tentu ayat Quran tidak secara langsung menjelaskan 10 hal tersebut sebagai faktor munculnya kemusyrikan. Namun jika kita menganalisa lebih jauh maka kita dapat menganggap ayat tersebut menjelaskan faktor yang dimaksud.
Faktor Pertama; Kecendrungan Masyarakat kepada Materi dan Kedekatannya terhadap Hal-Hal yang diinderai
Manusia adalah eksistensi yang memiliki unsur materi selain unsur non-materi yang dimilikinya. Penciptaan manusia, kemunculan keberadaannya, dan perkembangannya, semuanya terjadi di alam materi ini. Pertama kali manusia menginjakkan kakinya di dunia ini senantiasa bersentuhan dengan hal-hal yang bersifat material. Oleh karenanya dalam persoalan keyakinan pun kecendrungannya lebih besar pada hal-hal yang bersifat materi sehingga tidak meyakini perkara non-materi yang tentunya tidak dapat diinderai kecuali dengan argumentasi akal dan dalil-dalil rasional. Oleh karenanya juga berkenaan dengan keyakinan kepada Tuhan, demikian halnya bahwa dikarenakan manusia tidak bisa mempersepsi Tuhan dengan persepsi inderawi dan pada sisi lain manusia ingin memiliki keyakinan kepada-Nya dengan persepsi inderawi sehingga manusia menyekutukan Tuhan dengan menjadikan sebuah keberadaan materi sebagai Tuhan yang dapat dipersepsi inderawi. Selanjutnya mereka meyakini keberadaan materi tersebut sebagai penyebab dan yang mempengaruhi alam keberadaan. Berdasarkan hal ini Quran mengangkat kisah Nabi Musa as dimana kaumnya menginginkan Nabi Musa as menunjukkan Tuhan kepada mereka sehingga mereka bisa melihat Tuhan dengan kasat mata. Kaumnya secara tegas mengatakan jika hal ini tidak bisa dipenuhi maka mereka tidak akan beriman. Dalam surah Al-Baqarah : 55 “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Oleh karena itu, ketertarikan dan keterbiasaan manusia dengan hal-hal inderawi menjadi salah satu akar penolakan tauhid dan kecenderungan manusia pada tuhan-tuhan materi.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).