Oleh : Syaikh Jawadi Amuli
Para peziarah Baitullah yang bertekat melaksanakan ibadah haji dan berziarah ke makam suci Rasulullah SAW dan keluarganya (Ahlul Bait) adalah orang-orang yang memperoleh hidayah Allah SWT. Dalam Al-Quran Al-Karim, Allah berfirman:
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran : 97)
Lantaran mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, maka haji harus ditunaikan semata-mata mengharap ridha Allah. Oleh karena kewajiban menunaikan ibadah haji berasal dari Allah dan milik Allah (ungkapan ini khusus dalam masalah haji, karena ungkapan ini tidak disebutkan sehubungan dengan masalah shalat, puasa, dan hukum-hukum lainnya), maka melaksanakannya harus semata-mata lantaran Allah. Bila seseorang mengadakan perjalanan menuju Makkah dengan tujuan melancong, berniaga, dan sebagainya, maka haji seperti ini tidak mengandung rahasia. Sebab, haji tersebut bukan perjalanan menuju Allah. Rahasia terpenting haji adalah bahwa haji merupakan sebuah perjalanan menuju Allah, karena diungkapkan dalam kalimat:
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah… (QS. Ali Imran : 97)
Poin berikutnya adalah para manusia suci telah meriwayatkan dari Rasulullah SAW, sebuah riwayat bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan tentang tanda-tanda diterimanya amal ibadah orang yang berhaji. Beliau bersabda apabila seseorang mendapatkan hidayah menunaikan ibadah haji dan berziarah ke Baitullah, dan ketika kembali dia menjadi orang yang saleh, tidak melakukan maksiat lagi, dan menjauhkan diri dari kesalahan, maka hal itu merupakan tanda-tanda bahwa hajinya diterima (oleh Allah SWT). (Namun) apabila setelah berziarah ke Baitullah dia tetap melakukan perbuatan dosa dan maksiat, maka hal tersebut merupakan tanda hajinya ditolak (mardud).
Poin di atas juga merupakan salah satu rahasia haji. Sebab, rahasia-rahasia ibadah kita akan nampak nyata di hari penampakan batin. Pada hari itu, semua manusia paham bahwa amal perbuatannya diterima atau ditolak. Manusia juga dapat menyaksikan (bentuk) rahasia dari penolakan dan penerimaan amal perbuatannya. Manusia bukan hanya melihat hasil-hasil dari perbuatannya, namun dia juga melihat bukti dari perbuatannya. Di hari kiamat, bentuk penerimaan dan penolakan bisa disaksikan, demikian pula halnya dengan (bentuk) rahasia penerimaan dan rahasia penolakan. Sebab hari itu adalah hari penyingkapan segala rahasia: Pada hari dinampakkan segala rahasia. (QS. Al-Thariq : 9) jika seseorang di dunia telah mencapai tingkatan (iman) sehingga bisa memahami hajinya diterima atau ditolak, sebagaimana kelak hari kiamat, maka ia telah sampai pada rahasia-rahasia haji. Dia akan meneliti mengapa amal ibadahnya diterima atau ditolak.
Kandungan hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW adalah bahwa bila seseorang hendak melihat hajinya diterima atau tidak, maka dia harus melihat dirinya sendiri setelah pulang dari Baitullah, apakah dia meninggalkan maksiat atau tidak? Bila dia tidak berbuat dosa, itu pertanda hajinya diterima. Dan bila dia tetap melakukan dosa, maka hal tersebut menunjukkan hajinya ditolak. Pengertian ini juga dapat di temukan dalam ibadah-ibadah lainnya. Misal. Sehubungan dengan shalat, Allah berfirman:
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (QS. Al-Ankabut : 45)
Shalat memiliki sebuah hakikat yang menghalangi seseorang melakukan perbuatan menyimpang. Meskipun shalat sendiri merupakan hal yang relatif, namun hakikatnya mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar, apabila seseorang hendak melakukan sebuah perbuatan, maka perbuatan itu mengandung dasar-dasar nafsu. Sebab, ketika seseorang mengetahui (sebuah perbuatan) dan meyakininya, maka timbullah rasa suka, tekad, dan keinginan (dalam diri). Sekarang, apakah cukup (seseorang) hanya (berbekalkan) ilmu terhadap hukum (sebuah perbuatan) atau keinginan saja? Masalah ini membutuhkan kajian secara khusus. Namun yang jelas, semua ibadah memiliki dampak secara penciptaan, yaitu mendorong kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran.
Shalat, bagi pelaksananya, memiliki peran secara penciptaan, yaitu menyeimbangkan dorongan, keinginan, kecenderungan, semangat, dan tekad, yang menjadikan seseorang berkeinginan melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari kejahatan. Benar, hakikat shalat adalah sesuatau yang menjadikan pelakunya bertekad melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Sesuatu yang menciptakan kecenderungan pada kemuliaan dan kecintaan akan sifat-sifat utama adalah hakikat shalat. Pengertian ini juga dapat ditarik dari ibadah haji. Ruh haji mendorong pelakunya untuk melakukan kebaikan dan mencegah perbuatan mungkar.
Poin, ketiga, Abu Bashir yang buta, berkisah, “Pada suatu masa, saya melakukan perjalanan haji ke mekah dan Imam Muhammad al-Baqir juga hadir di sana. Melalui tanda-tanda tertentu dan indra lain, saya merasakan bahwa pengunjung haji pada tahun ini sangatlah banyak. Dengan nada heran, saya berkata, “betapa banyak orang yang berhaji dan betapa keras suara teriakan. Betapa mengharukan rintihan dan ratapan orang-orang di tanah suci Arafah. Mereka semua sibuk membaca doa, thawaf mengelilingi Kabah, shalat, membaca Al-Quran dan mengucapkan wirid.’”
Imam Muhammad al-Baqir berkata kepada Abu Bashir, “Hakikatnya tidak seperti itu. Kemarilah, wahai Abu Bashir!” Abu Bashir mendekati Imam Baqir. Kemudian, tangan Imam Baqir yang penuh berkah mengusap mata Abu Bashir. Tiba-tiba Abu Bashir melihat padang pasir yang sangat luas dan diatasnya nampaklah bintang-bintang. Atas dasar ini, Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Betapa sedikit orang yang berhaji dan betapa banyak suara teriakan.”
Membentuk Hakikat Manusia
Haji memiliki sebuah rahasia, yang bentuk batinnya mampu menciptakan hakikat manusia. Di pembahasan lain, telah dijelaskan tentang masalah al-harakah al-jauhariyah (gerak subtansial) dan jismaniyah al-hudus wa ruhaniyah al-baqa (sifat bendawi yang berubah dan sifat ruhani yang kekal). Dua masalah ini merupakan masalah filosofis dan teoritis, yang memberikan perubahan besar dalam masalah akhlak. Maksudnya, kedua prinsip ini memberikan banyak perubahan (pengaruh) terhadap prinsip-prinsip akhlak.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa apabila seseorang menjadi pelaku ibadah haji yang sejati, maka ibadah haji juga mengandung sebuah hakikat nyata. Bentuk nyata ibadah haji adalah perilaku orang berhaji, yang membentuk hakikat dirinya. Hakikat setiap orang membentuk akidah, akhlak, amal perbuatan, dan niat-niatnya. Ibadah haji adalah pembentukan hakikat manusia. Jika haji seseorang tidak benar, maka dia bukan manusia sejati.
Ya, semua ajaran agama berfungsi membentuk hakikat manusia, mulai dari shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lain. Apabila seseorang tidak memahami hakikat shalat dan rahasia puasa, maka dia tidak akan mendapatkan sifat-sifat manusiawi. Bentuknya adalah bentuk manusia, namun perilakunya adalah perilaku binatang. Sebagaimana disebutkan dalam Nahj al-Balaghah, Imam Ali bin Abi Thalib berkata, “Adapun bentuk(nya) adalah bentuk manusia dan hatinya adalah hati binatnag.”
Hati adalah hakikat manusia. Maksudnya, bentuk lahirnya memang manusia, namun hakikatnya adalah hakikat binatang. Sesuatu yang membentuk hakikat manusia, atau yang mengubahnya menjadi berbentuk manusia atau binatang adalah akidah, akhlak, dan amal perbuatan.
Benar, haji memiliki sebuah rahasia yang selaras dengan tabiat manusia dan membentuk hakikat dirinya. Oleh karena itu, Imam Muhammad al-Baqir berkata kepada Abu Bashir , “kebanyakan orang-orang (yang) Anda lihat adalah binatang.” Jelas, para peziarah Baitullah, yang datang dari negara atau wilayah pengikut Ahlul Bait, haruslah senang dan gembira. Sebab, jika menjadikan mereka sebagai pemimpin (wilayah), mereka terjaga dari keburukan dan bahaya seperti yang disaksikan oleh Abu Bashir. Inilah satu poin penting yang Imam al-Baqir sampaikan kepada Abu Bashir.
Setelah melihat hakikat para pelaku haji, Imam Muhammad al-Baqir mengusap kedua mata Abu Bashir, sehingga kembali pada kondisi semula; dia melihat orang-orang yang melakukan ibadah haji di Mina dalam bentuk manusia.
Selanjudnya, Imam Muhammad al-Baqir berkata kepada Abu Bashir, “Wahai Abu Bashir! Apabila kami melakukan perbuatan ini kepada anda, maka kami juga melakukan perbuatan yang sama kepada orang lain, sehingga mereka memahami dan melihat kondisi sebenarnya di Arafah. Mungkin saja, orang-orang tidak memiliki kesiapan dalam memuliakan kami melebihi batas kewajaran. Kami adalah hamba-hamba Allah, dan kami tidak merasa enggan menyembah Allah dan tidak jemu beribadah kepada-Nya.”
Imam Muhammad al-Baqir telah menjelaskan tentang dirinya kepada Abu Bashir, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam ayat terakhir surat Al-A’raf , yang menerangkan tentang sifat malaikat-malaikat yang berada di sisi Allah.
Poin lain, Sidir al-Sirfi, “Saya bersama Imam Ja’far al-Shadiq di tanah suci Arafah. Saya melihat orang-ornag sibuk melakukan ibadah haji, berdoa, dan sebagainya. Dalam hati saya, terlintas kata-kata, ‘Mungkinkah mereka masuk neraka? Juga, mungkinkah semua orang ini berada dalam keadaan kesesatan dan kebatilan?’ (Sebab, orang yang tidak meyakini wilayah {kepemimpinan}. Imam Ali dan keturunannya serta melanggar perintah Rasulullah SAW secara sengaja dan berdasarkan ilmu, pada hakikatnya tidak sempurna wujudnya). Saat itu, Imam Ja’far al-Shadiq berkata kepada saya, ‘Renungkanlah, wahai Sidir!’ Kemudian, Imam Ja’far membukakan tirai gaib untuk saya, sehingga saya mampu melihat batin manusia. Ternyata, mereka tidak berbentuk manusia. Setelah itu, Imam Ja’far mengembalikan saya ke kondisi semula.”
Begitulah, haji memiliki sebuah rahasia, yang membentuk perilaku dan hakikat manusia. Jika seseorang melakukan haji secara benar, maka dia akan menjadi manusia seutuhnya. Namun apabila seseorang mangadakan perjalanan haji untuk berdagang dan melancong, serta tidak mengakui wilayah Ahlul Bait, maka dia tidak meraih rahasia haji.
Peran Penentu Wilayah
Masalah wilayah (kepemimpinan Ahlul Bait Rasulullah) memiliki peran yang sangat menentukan. Oleh karena itu, dalam riwayat disebutkan bahwa Wali (pemimpin) adalah pemberi petunjuk dan pembimbing keseluruhan garis-garis (ketentuan) agama. Bila shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah-ibadah lainnya adalah dasar-dasar (ketentuan) agama, maka seorang wali adalah pemberi petunjuk, pelaksana, penjelas, penafsir, dan pemelihara batas-batas seluruh hukum tersebut. Mereka menghukum orang-orang yang melanggar dan menghargai orang-orang yang patuh perintah. Singkatnya, mereka memelihara keutuhan hukum-hukum Allah.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku tinggalkan kepada kalin dua pusaka, yakni Kitabullah (Al-Quran) dan Ahlul Baitku.” Dalam sebuah surat wasiat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menulis, “Tegakkanlah kedua tiang ini (Al-Quran dan Ahlul Bait) dan nyalakanlah kedua pelita .” maksudnya, tegakkan kedua tiang ini Al-Quran dan Ahlul Bait dan nyalakan kedua pelita ini, yang akan menerangi jalan kalian. Bila seseorang secara sengaja meninggalkan hakikat wilayah meskipun dia mengerjakan shalat, puasa, membayar zakat, dan menunaikan haji, maka dia bukan manusia. Sebab, wilayah adalah rahasia ibadah dan pembentuk hakikat manusia.
Atas dasar itu, sesuai dengan riwayat-riwayat yang telah dinukil, perintah-perintah agama memiliki bentuk lahir dan batin. Bentuk batin perintah agama bekerja membentuk jiwa kita. Ulama-ulama (kalangan) lain telah menjelaskan tentang masalah akhlak dalam batasan sifat-sifat mulia dan sifat-sifat hina. Mereka tak mampu menjelaskan tentang masalah perwujudan diri manusia dan perwujudan bentuk manusia menjadi bentuk sifat-sifat kejiwaannya.
Meskipun mereka menerima riwayat yang menyebutkan bahwa sebagian manusia kelak akan dibangkitkan dalam wujud binatang, mereka tidak menemukan jalan (pembenaran) secara ilmiah untuk membuktikannya. Namun, berdasarkan prinsip dari kitab Hikmah muta’aliyah (karya Mulla Shadra) tentang jismaniyah al-hudus wa ruhwaniyah al-baqa dan al-harakah al-jauhariyah, riwayat-riwayat tersebut bisa dijelaskan dengan lebih baik secara ilmiah. Juga, dapat dimengerti bagaimana seseorang bergerak dan mengalami perubahan bentuk menjadi binatang atau manusia.
Seseorang (boleh jadi) secara batin berubah menjadi binatang, meskipun bentuk lahirnya tetap manusia. Ini bukan berarti bahwa berubah menjadi binatang secara lahiriah, sehingga dihukumi seperti binatang-binatang lainnya. Jika demikian pengertiannya, maka tiada artinya pahala dan siksaan. Namun, maksudnya adalah berubah menjadi binatang dalam bentuk manusia. Artinya, kera dalam wujud manusia, babi dalam bentuk manusia, srigala dalam tubuh manusia, anjing dalam jubah manusia, dan sebagainya.
Terakhir kita akan menyinggung sedikit topik lain sehubungan dengan masalah ibadah haji, Allah SWT berfirman:
Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata… (QS. Ali Imran : 97)
Meskipun maksud ayat ini adalah menjelaskan bahwa di banyak tempat terdapat tanda-tanda kebesaran Allah, namun sehubungannya dengan masalah haji, Allah berfirman: Padanya (ibadah haji) terdapat tanda-tanda yang nyata…
Banyak ayat Al-Quran berbicara tentang masalah haji. Para peziarah Baitullah menyaksikan banyak tanda kebesaran Allah. Adakalanya, seseorang pergi ke Mekah dan Madinah, namun tujuan berdagang. Dalam pada itu, tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan, seperti langit, bumi, udara, angkasa, iklim, dan sebagainya ditunjukkan untuk semua orang. Namun serangkaian tata cara ibadah yang disebut dengan manasik haji dan dilakukan oleh manusia, yang datang dari jauh dan dekat, di dalamnya mengandung tanda-tanda kebesaran Allah.
Dalam ibadah haji, memang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah; Kabah merupakan sebagian tanda-tanda kebesaran Allah, Hajar al-Aswad pun Adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Begitu juga dengan maqam Ibrahim, merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah.
(Kita tahu), Mekah adalah tanah gersang, tiada pepohonan di dalamnya: Maka jadikanlah hati seorang manusia cenderung kepada mereka… (QS. Ibrahim : 37) Ya, Manusia menjadi cenderung kepada Kabah dan berziarah ke Baitullah. Semua itu merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Masalah ini tentu membutuhkan penjelasan secara khusus.